sikap

SIKAP

A. Pengertian Sikap

Sikap mulai menjadi fokus pembahasan dalam ilmu sosial sejak awal abad ke-20. Secara bahasa, Oxford Advanced Learner Dictionary (Hornby, 1974) mencantumkan bahwa sikap (attitude), berasal dari bahasa Italia attitudine yaitu “Manner of placing or holding the body, dan Way of feeling, thinking or behaving”. Sikap adalah cara menempatkan atau membawa diri, atau cara merasakan, jalan pikiran, dan perilaku. Free online dictionary (www.thefreedictionary.com) mencantumkan sikap sebagai a complex mental state involving beliefs and feelings and values and dispositions to act in certain ways. Sikap adalah kondisi mental yang kompleks yang melibatkan keyakinan dan perasaan, serta disposisi untuk bertindak dengan cara tertentu.

Konsep sikap sebenarnya pertama kali diangkat ke dalam bahasan ilmu sosial oleh Thomas (1918), sosiolog yang banyak menelaah kehidupan dan perubahan sosial, yang menulis buku Polish Peasant in Europe and America: Monograph of an Immigrant Group yang merupakan hasil riset yang dilakukannya bersama Znaniecki. Dalam buku tersebut, Thomas dan Znaniecki membahas informasi sosiologi dari kedua sudut individualistik dan subjektivistik. Menurut pandangan mereka dua hal yang harus diperhitungkan pada saat membahas kehidupan dan perubahan sosial adalah sikap individu dan budaya objektif (objective cultural). Thomas (1918) dan juga Thomas and Znaniecki (1974) mengemukakan mengenai sikap ini sebagai berikut:

By attitude we understand a process of individual consciousness which determines real or possible activity of the individual in the social world (hal. 22)

Melalui sikap, kita memahami proses kesadaran yang menentukan tindakan nyata dan yang tindakan yang mungkin dilakukan individu dalam kehidupan sosialnya. Thomas & Znaniecki (1920) menegaskan bahwa sikap adalah predisposisi untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku tertentu, sehingga sikap bukan hanya kondisi internal psikologis yang murni dari individu (purely psychic inner state), tetapi sikap lebih merupakan proses kesadaran yang sifatnya individual. Artinya proses ini terjadi secara subjektif dan unik pada diri setiap individu. Keunikan ini dapat terjadi oleh adanya perbedaan individual yang berasal dari nilai-nilai dan norma yang ingin dipertahankan dan dikelola oleh Individu (Coser, dalam http://www.bolender.com).

Thurstone & Chave (dalam Mitchell, 1990) mengemukakan definisi sikap sebagai: The sum total of a man’s inclination and feelings, prejudice or bias, preconceived notions, ideas, fears, threats, and convictions about any specific topic (hal. 532) (Sikap adalah keseluruhan dari kecenderungan dan perasaan, curiga atau bias, asumsi-asumsi, ide-ide, ketakutan-ketakutan, tantangan-tantangan, dan keyakinan-keyakinan manusia mengenai topik tertentu). Pendapat ini berbeda dengan Thomas & Znaniecki (1920) yang berpendapat bahwa sikap tidak semata-mata ditentukan oleh aspek internal psikologis individu melainkan melibatkan juga nilai-nilai yang dibawa dari kelompoknya, Thurstone lebih spesifik menunjukkan faktor yang menentukan sikap seseorang terhadap sesuatu obyek sikap (specific topic).

Pendapat Allport (dalam Mitschell, 1990) mengenai sikap lebih memperkaya pandangan yang dikemukakan sebelumnya. Menurut Allport sikap adalah: A mental and neural state of readiness, organised through experience, exerting a directive and dynamic influence upon the individual’s response to all objects and situations with which it is related (Sikap adalah kondisi mental dan neural yang diperoleh dari pengalaman, yang mengarahkan dan secara dinamis mempengaruhi respon-respon individu terhadap semua objek dan situasi yang terkait).

Pendapat Krech & Crutchfield (1948) memilah lebih tajam komponen sikap yang dikemukakan oleh Thurstone & Chave dan Allport yang dikemukakan sebelumnya. Menurut Krech & Crutchfield sikap adalah: An enduring organization of motivational, emotional, perceptual, and cognitive processes with respect to some aspects of the individual’s world (hal. 152). (Sikap adalah pengorganisasian yang relatif berlangsung lama dari proses motivasi, persepsi dan kognitif yang relatif menetap pada diri individu dalam berhubungan dengan aspek kehidupannya). Sikap individu ini dapat diketahui dari beberapa proses motivasi, emosi, persepsi dan proses kognitif yang terjadi pada diri individu secara konsisten dalam berhubungan dengan objek sikap. Konsistensi ini sangat ditekankan oleh Campbel (1950, p. 31) yang mengemukakan bahwa sikap adalah “A syndrome of response consistency with regard to social objects”. Artinya, sikap adalah sekumpulan respon yang konsisten terhadap objek sosial. Penekanan konsistensi respon ini memberikan muatan emosional pada definisi yang dikemukakan Campbell tersebut. Sikap tidak hanya kecenderungan merespon yang diperoleh dari pengalaman tetapi sikap respon tersebut harus konsisten. Pengalaman memberikan kesempatan pada individu untuk belajar. Aiken (dalam Mitschell, 1990) menambahkan bahwa: A learned predisposition or tendency on the part of an individual to respond positively or negatively with moderate intensity and reasonable intensity to some object, situation, concept, or other person (Sikap adalah predisposisi atau kecenderungan yang dipelajari dari seorang individu untuk merespon secara positif atau negatif dengan intensitas yang moderat dan atau memadai terhadap objek, situasi, konsep, atau orang lain. Definisi yang dikemukakan Aiken ini sudah lebih aktif dan operasional, baik dalam hal mekanisme terjadinya maupun intensitas dari sikap itu sendiri. Predisposisi yang diarahkan terhadap objek diperoleh dari proses belajar.Definisi di atas nampaknya konsisten menempatkan sikap sebagai predisposisi atau tendensi yang menentukan respon individu terhadap suatu objek. Predisposisi atau tendensi ini diperoleh individu dari proses belajar, sedangkan objek sikap dapat berupa benda, situasi, dan orang.

B. Pembentukan Sikap

Ada bebrapa faktor yang mempengaruhi proses pembentukan sikap seseorang, antara lain:

a. Pembelajaran dari Observasi: Belajar dari Contoh

Terbentuk ketika orang tua tidak bermaksud untuk mewariskan pandangan tertentu pada anak mereka. Proses ini terjadi ketika individu mempelajari bentuk tingkah laku atau pemikiran baru hanya hanya dengan mengobservasi tingkah laku orang lain (Bandura, 1997). Mereka seringkali belajar melakukan apa yang orang tua lakukan, bukan apa yang orang tua katakan. Baik anak maupun orang dewasa seringkali mempelajari sikap dari media massa-televisi, majalah, film dan lain-lain.

b. Pengamatan terhadap Sikap Lain yang Berbeda

Kecenderungan kita untuk membandingkan diri kita sendiri dengan orang lain untuk menentukan apakah pandangan kita terhadap kenyataan social benar atau salah (Festinger, 1954). Kita seringkali mengubah sikap kita dengan sikap yang hampir mendekati sikap orang lain. Dan dalam beberapa kesempatan, perbandingan social dapat berkontribusi pada pembentukan sikap baru.

Hasil penelitian mengindikasikan bahwa mendengar orang lain menyatakan pandangan negative tentang kelompok tertentu dapat saja membuat kita mengadopsi sikap yang serupa-tanpa harus bertemu dengan anggota kelompok yang dibicarakan (contoh: Maio, Esses & Bell, 1994; Shaver, 1993).

c. Faktor Genetik

Bukti yang terus bertambah menunjukkan bahwa faktor genetik dapat berperan dalam sikap, meskipun sedikit(contoh: Arvey dkk, 1989; Keller, dkk 1994). Korelasi yang lebih tinggi antara sikap kembar identik daripada kembar tidak identik akan menunjukkan bahwa faktor genetik memainkan peran dalam membentuk sikap-sikap tertentu.

Hasil lain penelitian menunjukkan bahwa tidak aneh jika faktor genetik memainkan peran yang lebih kuat dalam membentuk sikap-sikap tertentu dibanding faktor-faktor lain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap yang berkenaan dengan tingkat kecenderungan lebih kuat dipengaruhi, oleh faktor genetik daripada sikap yang sifatnya lebih kognitif. Sikap yang cenderung diturunkan lebih sulit diubah karena memiliki efek yang lebih kuat pada tingkah laku(contoh: Crelia & Tesser, 1998).

Faktor genetik lebih banyak mempengaruhi watak, seperti kecenderungan pembawaan umum seseorang yang lebih positif atau negatif-lebih banyak mengalami suasana hati negatif atau positif(George, 1990). Faktor genetika tersebut tampaknya mempengaruhi banyak aspek tingkah laku sosial dan pemikiran sosial, mulai dari cara kita memilih pasangan sampai agresi(Buss, 1999), maka psikolog sosial pun tidak lagi merasa aneh bahwa sikap pun mungkin juga dipengaruhi oleh faktor genetik.

C. Perubahan Sikap

a. Seberapa Stabilkah Sikap?

Dalam sebuah penyelidikan, para peneliti menemukan bahwa sikap kerja dari 5000 pekerja pria dengan umur menengah sangat stabil setelah lima tahun. Sikap menjadi sangat mudah berubah pada saat usia muda dan usia tua dibandingkan dengan usia menengah. Terdapat tiga faktor yang menyebabkan orang yang berada pada usia menengah lebih stabil sikapnya, yaitu adanya kepastian kepribadian yang lebih baik, melimpahnya pengalaman yang didapatkan, dan kenutuhan akan sikap yang kuat. Maka, anggapan bahwa sikap akan menurun sejalan dengan perubahan usia harus ditolak. Orang tua dan muda dapat dan melakukan perubahan sikap karena mereka lebih terbuka dan tingkat kepercayaan dirinya rendah. Dengan berubahnya latar belakang budaya dan pengalaman yang didapat, sikap seseorang juga akan berubah.

b. Ketika Sikap Gagal Diubah

Di dalam kehidupan sehari-hari kita akan sangat resisten atau menolak pesan-pesan persuasi yang sangat banyak kita terima. Jika kita tidak resisten, tentu sikap kita akan terus berubah karena pengaruh pesan persuasi yang kita terima setiap saat tersebut.

Faktor yang menguatkan kemampuan kita untuk menolak pesan persuasi tersebut antara lain :

Ø Reaktansi : Melindungi Kebebasan Pribadi Kita

Reaktansi (reactance) adalah sebuah reaksi negatif terhadap usaha orang lain untuk mengurangi kebebasan kita dengan membuat kita melakukan apa yang mereka inginkan. Kita sering kali mengubah sikap kita (atau tingkah laku) ke arah yang berlawanan dengan apa yang dipaksakan kepada kita, hal ini dikenal sebagai perubahan sikap negatif ( Brehm, 1966, Rhodewalt & Davidson, 1983 ).

Ø Peringatan : Pengetahuan Awal akan Intensi Persuasi

Peringatan (forewarning) adalah pemahaman diri bahwa individu akan menjadi target suatu usaha persuasi. Peringatan seringkali meningkatkan pertahanan terhadap persuasi yang terjadi. Kita akan lebih tidak suka dipengaruhi oleh persuasi yang kita terima.

Hal ini disebabkan pertama, peringatan memberikan kita kesempatan untuk menciptakan sanggahan (counterargument) yang dapat mengurangi kekuatan pesan persuasi. Selain itu, peringatan juga memberikan waktu untuk mengingat fakta-fakta yang relevan dan informasi yang terbukti berguna agar dapat menolak sebuah pesan persuasive (Wood, 1982). Peringatan tampaknya lebih berguna jika terkait dengan sikap yang kita nilai penting dan lebih kecil kemungkinan terjadinya untuk sikap yang kita anggap kurang penting dari peringatan (Krosnick, 1989).

Ø Penghindaran Selektif

Penghindaran selektif adalah kecenderungan untuk mengalihkan perhatian dari informasi yang menantang sikap yang sudah ada. Usaha menghindari tersebut meningkatkan resistansi terhadap persuasi. Selective avoidance adalah salah satu cara dimana skema diarahkan untuk memproses informasi sosial, dan sikap sering kali beroperasi berdasarkan skema.

Ø Pertahanan Aktif terhadap Sikap Kita yang Sudah Ada : Menyanggah Pandangan yang Berlawanan

Salah satu alasan untuk menolak persuasi yaitu dengan mengabaikan atau menyaring informasi yang tidak konsisten dengan pandangan kita saat ini. Selain itu, kita harus aktif dengan menyanggahnya, sehingga kita mempunyai benteng yang kuat untuk melawan usaha yang akan mengubah sikap kita.

Ø Bias Asimilasi dan Polarisasi Sikap

Dua proses tambahan yang berperan dalam kemampuan kita untuk menolak usaha persuasi adalah bias asimilasi (biased assimilation), yaitu sebuah kecenderungan untuk mengevaluasi informasi yang berbeda dengan pandangan kita sebagai informasi yang kurang meyakinkan dan kurang dapat dipercaya daripada informasi yang konsisten dengan pandangan yang kita miliki (Lord, Ross & Lepper, 1979; Miller dkk., 1993). Selain itu adalah polarisasi sikap (attitude polarization), yaitu sebuah kecenderungan untuk mengevaluasi berbagai bukti atau informasi dengan cara memperkuat pandangan awal kita dan membuat pandangan tersebut menjadi lebih ekstrem (Pormerantz, Chaiken & Tordestilla, 1995).

Pada saat kita menerima informasi dan sumber informasi yang berlawanan dengan pandangan kita, maka kita akan cenderung menganggap sumber dan informasi tersebut sebagai bias. Efek ini dikenal sebagai hostile media bias.

c. Seni Persuasi: Menggunakan Pesan untuk Mengubah Sikap

Psikolog sosial yang telah mempelajari mengenai proses kognitif yang berperan dalam persuasi, misalnya: Eagly, Wood & Chaiken, 1996; Lavine, Thomsen, & Gonzales 1997; Munro & Ditto 1997.

Ø Persuasi: Pendekatan Awal

Persuasi adalah usaha untuk mengubah sikap orang lain melalui penggunaan berbagai jenis pesan, misalnya: papan iklan, iklan di radio dan televisi, iklan di koran dan majalah, pidato-pidato politik, acara-acara sosial. Dalam berbagai kasus, usaha prsuasi melibatkan elemen-elemen berikut: beberapa sumber yang membawa beberapa tipe pesan (komunikasi) untuk beberapa orang atau kelompok orang (penonton). Mempertimbangkan fakta ini, penelitian awal terhadap persuasi (misalnya, Hovland, Jeans & Kelley, 1953) berfokus pada elemen-elemen kunci tersebut, dan mempertanyakan ”siapa mengatakan apa pada siapa dengan efek apa?” Pendekatan ini menghasilkan banyak penemuan yang menarik, di antaranya yang paling konsisten adalah:

F Komunikator yang kredibelyang tampaknya tahu apa yang mereka bicarakan atau ahli mengenai topik atau isu yang mereka sampaikanlebih persuasif daripada mereka yang bukan ahlinya. Sumber dari pesan ini bervariasi, mulai dari sumber yang kredibilitas tinggi sampai yang rendah; sebagai contoh isu tentang kapal selam nuklir, masa depan bioskop (1950), sumber dengan kredibilitas yang tinggi adalah peneliti yang terkenal Robert J. Oppenheimer, sementara sumber dengan kredibilitas rendah adalah Pravda, koran partai komunis di Uni Soviet. Partisipan yang sudah diberi tahu bahwa sumber pesan yang mereka baca memiliki kredibilitas tinggi menunjukkan perubahan sikap yang lebih besar secara signifikan.

F Komunikator yang menarik dalam cara tertentu (contohnya, secara fisik) lebih persuasif daripada komunikator yang kurang menarik secara fisik dan kurang memiliki keahlian (Hovland & Weiss, 1951). Ini merupakan salah satu alasan mengapa iklan sering kali menampilkan model yang menarik.

F Terkadang orang lebih mudah dipersuasi ketika mereka terganggu oleh hal lain daripada ketika mereka memperhatikan dengan baik pesan apa yang disampaikan (Allyn & Festinger, 1961). Ini merupakan satu alasan mengapa kandidat politik sering kali mengatur demonstrasi secara spontan selama mereka berpidato.

F Ketika seorang pendengar memiliki sikap yang berlawanan dengan apa yang ingin disampaikan oleh pelaku persuasi, sering kali lebih efektif bagi komunikator untuk mengadopsi pendekatan dua sisi, di mana kedua sisi argumen tersebut disampaikan, daripada menggunakan pendekatan satu sisi.

F Orang yang berbicara dengan cepat lebih persuasif daripada orang yang berbicara lebih lambat (contoh, Miller dkk, 1976).

F Persuasi dapat ditingkatkan dengan pesan yang merangsang emosi yang kuat (terutama rasa takut) pada pendengar, khususnya ketika komunikasi memberikan rekomendasitertentu tentang bagimana mencegah atau menghindari kejadian yang menyebabkan rasa takut yang digambarkan.

Ø Pendekatan Kognitif Pada Persuasi : Pemrosesan Sistematis vs Pemrosesan Heuristik

Psikolog sosial mengetahui bahwa, secara umum, kita melakukan usaha kognitif seminimal mungkin dalam sebuah situasi tertentu. Isu utama yaitu isu yang memberikan kunci pemahaman terhadap proses persuasi secara keseluruhan adalah sebuah isu kognitif: ”Bagaimana kita memproses (menyerap, menginterpretasikan, mengevaluasi) informasi yang terkandung didalam pesan tersebut?” jawaban yang muncul adalah kita memproses pesan persuasif dalam dua cara yang berbeda, yaitu :

1. Pemrosesan Sistematik (systematic processing) atau Rute Utama (central route)

F Pemrosesan Sistematik à pemrosesan informasi terhadap pesan persuasif yang melibatkan pertimbangan yang mendalam terhadap isi dan ide-ide pesan.

F Rute utama à perubahan sikap yang terjadi pada pemrosesan informasi secara sistematik yang ditampilkan oleh pesan persuasif.

F Pemrosesan ini membutuhkan cukup usaha dan menyerap banyak kapasitas pemrosesan informasi kita.

2. Pemrosesan Heuristik (heuristic processing) atau Rute Periferal (peripheral route)

F Pemrosesan Heuristik à pemrosesan informasi terhadap pesan persuasif yang melibatkan penggunaan aturan sederhana sebagai pegangan/jalan pintas mental, seperti keyakinan bahwa ” Saya menyukai apa yang membuat saya merasa baik”.

F Rute periferal à perubahan sikap yang terjadi sebagai perubahan respons terhadap petunjuk persuasi, informasi yang diberikan oleh ahli/persuader dengan status tertentu. Misalnya: model yang cantik menimbulkan heuristik: ”Segala yang indah adalah baik dan patut didengarkan”.

Teori modern tentang persuasi seperti model elaborasi (elaboration likelihood model/ELM) (Petty &Cacioppo, 1986; Petty dkk, 1994) dan model heuristik-sistemtik (heuristicsystematic model) (Chaiken, Liberman, & Eagly, 1989; Eagly & Chaiken, 1998) menginformasikan bahwa kita menggunakan tipe pemrosesan sistematik ketika kapasitas kita untuk memproses informasi berhubungan dengan pesan persuasif yang tinggi (misalnya, banyak waktu untuk memikirkan hal tersebut). Sebaliknya, kita menggunakan tipe heuristik ketika kemampuan/kapasitas kita kurang untuk memproses secara lebih teliti. Para pembuat iklan, politikus, salesman, dan orang lain yang ingin mengubah sikap kita cenderung mendorong kita pada pemrosesan informasi model heuristik karena lebih mudah sikap ketika kita berpikir dengan cara ini, daripada ketika kita melakukan pemrosesan yang lebih hati-hati dan sistematik.

Dua cara pemrosesan yang berbeda memberikan kunci penting untuk memahami proses persuasi. Contoh: ketika pesan persuasif tidak menarik/tidak relevan dengan individu, jumlah persuasi yang mereka hasilkan tidak sekuat efek yang dihasikan oleh kekuatan argumen yang terkandung didalamnya. Dan begitu juga sebaliknya. Menurut teori modern, seperti model elaborasi dan model heuristik-sistematik, ketika relevansi dari pesan rendah, individu cenderung memproses dengan cara heuristik melalui jalan pintas, sehingga kekuatan argumen hanya memiliki dampak kecil (Petty & Cacioppo, 1990). Sebaliknya, ketika relevansi tinggi, orang akan memproses pesan persuasif secara sistematik, dan dengan cara ini kekuatan argumen menjadi penting.

Perbedaan antara sistematik daan heuristik yang membantu menjelaskan mengapa orang dengan mudah dipengaruhi ketika mereka terganggu daripada mereka tidak terganggu. Di bawah kondisi ini, kapasitas untuk memproses informasi terhadap pesan persuasif menjadi terbatas, sehingga orang mengadopsi cara berpikir heuristik. Pendekatan kognitif yang modern ini memberikan kunci yang penting terhadap pemahaman banyak aspek mengenai persuasi.

d. Cara Mengubah Sikap Negatif

Yang harus kita perhatikan adalah membenahi faktor internal, sebelum mengharapkan adanya perubahan faktor eksternal. Dengan kata lain, kita harus siap melakukan reformasi terhadap struktur, kognitif, afektif dan konatif sebagai komponen pembentukan sikap.

1. Menanamkan pemahaman konsep dalam diri bahwa kritik bukan ancaman, tetapi justru sebuah stimulus atau rangsangan untuk melakukan proses perbaikan diri. Kritik pada dasarnya adalah nasihat. Nasihat itu pada hakikatnya adalah ungkapan ‘kasih sayang’ seseorang pada diri kita dengan maksud memberikan upaya perbaikan, sehingga kita bisa menganggap kehadiran kritik sebagai sarana yang dapat membantu akselerasi pembentukan kepribadian yang baik.

2. Menumbuhkan suasana psikologis yang sehat dalam menerima kritik. Hadapi kritik dengan lapang dada, penuh kemakluman, dan senyum keikhlasan. Sikap seperti itu membuat kita lebih ‘nyaman’ dan dapat mengendalikan upaya pembelaan atau pertahanan diri yang tidak proposional. Bahkan, akan membuat kita ‘siap’ menghadapi sebuah kecaman pedas dan ‘asbun’ sekalipun.

3. Menunjukkan sikap tawadhu (rendah hati) dalam menghadapi orang yang melontarkan kritik. Ini dapat dilakukan dengan cara mendengarkan penuh perhatian, tidak memotong pembicaraannya karena tergesa ingin memakai hak jawab dan tidak menunjukkan sikap meremehkan atau tidak peduli.

4. ”Mem-follow up-i” kritik dengan melakukan intropeksi. Melalui intropeksi yang distimulusi oleh kritik membuat kita menjadikan diri sebagai telaah, bukan orang lain.

D. Hubungan Sikap dan Tingkah Laku

a. Disonansi Kognitif (cognitive dissonance): “Mengapa tingkah laku kita terkadang mempengaruhi sikap kita”

Dalam berbagai situasi, ada perbedaan yang cukup besar antara apa yang kita rasakan (reaksi positif maupun negatif pada objek atau isu tertentu) dan apa yang kita tunjukan secara nyata. Tingkah laku yang tidak konsisten dengan sikap membuat perasaan yang tidak nyaman. Psikologi sosial menyebutnya denga disonansi kognitif, yaitu sebuah keadaan internal yang tidak menyenangkan, merupakan hasil ketika individu menyadari ketidakkonsistenan antara dua atau lebih sikap mereka atau antara sikap dan tingkah laku mereka. Teori disonansi kognitif ditemukan oleh Leon Festinger (1975). Pandangan dasar dari teori ini adalah jika seseorang mempunyai dua kognisi (ide-ide dan pikiran-pikiran) secara simultan dan saling berkontradiksi, maka orang tersebut akan mengalami disonansi kognitif. Misalnya, seseorang perokok yang mengerti bahwa merokok dapat mengakibatkan sakit paru-paru. Kognisi :”saya seorang perokok”, tidak sesuai dengan kognisi “merokok dapat mengakibatkan sakit paru-paru”, karena itu membuat keadaan disonansi. Karena disonansi kognitif dan dampaknya yang tidak menyenangkan, kadang kita mengubah sikap agar konsisten dengan sikap lain yang kita miliki atau dengan tingkah laku kita yang muncul (mengubah sikap kita sendiri), bahkan ketika tidak ada tekanan eksternal yang kuat untuk melakukan hal tersebut.

Disonansi menghasilkan suatu ketegangan psikologis yang mendorong seseorang mengurangi disonansi tersebut. Pengurangan disonansi tersebut dapat dilakukan baik secara langsung maupun secara tidak langsung.

Ø Pengurangan disonansi secara langsung dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu:

1. Mengubah elemen tingkah laku

Misalnya, seorang perokok yang mengetahui merokok yang dapat mengakibatkan kanker paru-paru, maka untuk menghilangkan disonansi perokok itu berusaha tidak merokok lagi.

2. Mengubah elemen kognitif lingkungan

Misalnya, perokok itu meyakinkan teman-temannya/saudara-saudaranya bahwa merokok itu tidak akan menyebabkan kanker paru-paru.

3. Menambah elemen kognitif baru

Misalnya, mencari pendapat teman lain yang mendukung pendapat bahwa merokok tersebut tidak akan menyebabkan kanker paru-paru.

Ø Pengurangan disonansi secara tidak langsung dilakukan dengan membiarkan perbedaan antara Sikap dan tingkah laku tetap ada, tetapi mengurangi perasaan negatif yang muncul akibat disonansi. Menurut Steele (1998), pengadopsian secara tidak langsung terhadap usaha penurunan disonansi pada umumnya terjadi ketika perbedaan sikap dan tingkah laku melibatkan sikap yang penting atau keyakinan. Dalam kondisi ini individu yang mengalami disonansi dapat memfokuskan diri tidak pada usaha untuk mengurangi perbedaan antara sikap dan tingkah laku, tetapi melakukan penegasan diri (self-affirmation), yaitu mengembalikan evaluasi positif diri yang terancam oleh disonansi. Untuk mencapai tujuan tersebut individu memfokuskan diri pada atribusi diri positif―hal-hal yang baik tentang diri mereka. Penelitian lain menunjukkan terkadang penegasan diri mungkin tidak perlu dilakukan untuk mengurangi disonansi secara tidak langsung. Karena, hampir semua hal yang kita lakukan untuk mengurangi rasa tidak nyaman dan perasaan negatif yang dihasilkan oleh disonansi, kerap berhasil dilakukan―mulai dari mengkonsumsi alkohol (Steele, Southwick & Critchlow, 1981) melakukan aktivitas lain yang dapat membuat orang melupakan disonansi tersebut (Zanna & Aziza, 1976) sampai ke ekspresi efek positif yang sederhana (Cooper, Fazio & Rhodewalt,1978).

Perubahan sikap dapat terjadi secara maksimum ketika kita memiliki alasan yang cukup untuk membuat kita untuk melakukan tingkah laku yang berlawanan dengan sikap. Alasan yang lebih kuat (atau penghargaan yang lebih besar) menghasilkan perubahan sikap yang lebih kecil―efek usaha minimal dengan hasil maksimal.

Disonansi kognitif merupakan aspek universal dari pemikiran sosial, tetapi disonansi kognitif juga dipengaruhi oleh faktor budaya. Meskipun semua umat manusia merasakan ketidaknyamanan karena inkonsistensi yang mereka miliki antara sikap dan tingkah laku, namun intensitas dari reaksi tersebut, kondisi sebenarnya dimana hal itu terjadi,dan strategi yang digunakan untuk mengurangi hal tersebut, kesemuanya dapat dipengaruhi oleh budaya yang ada di tempat mereka tinggal.

Disonansi sering kali terjadi dalam situasi yang melibatkan induced (forced) compliance, yaitu kepatuhan dimana kita dibujuk/didorong oleh faktor eksternal untuk mengatakan atau melakukan perbuatan yang tida konsisten dengan sikap kita yang sebenarnya. Ada empat faktor yang diperlukan agar perilaku yang bertentangan dengan sikap menghasilkan disonansi (Festinger dan Carlsmith menyebutnya dengan “the induced compliance paradigm” ) :

1. Pilihan, yaitu jika individu tidak diberi kebebasan untuk memilih dalam menampilkan perilaku yang bertentangan dengan sikapnya, maka disonansi tidak akan timbul.

2. Komitmen yaitu perilaku yang bertentangan dengan sikap lebih mungkin menghasilkan disonansi jika individu secara psikologis memiliki komitmen terhadap tindakan itu. Jika perilaku itu dilakukan di depan publik maka akan lebih menimbulkan disonansi daripada dilakukan tanpa diketahui orang lain.

3. Akibat yang tidak menyenangkan sebagai hasil perilaku yang bertentangan dengan sikapnya dapat menimbulkan disonansi.

4. Tanggung jawab perilaku, yaitu agar disonansi terjadi, individu seharusnya merasa tanggung jawab secara peribadi pada perilakunya dan beberapa akibat yang tak menyenangkan sebagai hasilnya. Kebebasan memilih adalah salah satu komponen dari tanggung jawab atas sesuatu yang dipaksa atas diri mereka untuk melakukannya.

b. Sikap Mempengaruhi Tingkah Laku Melalui Tujuan

Sebuah model dikembangkan oleh Icek Ajzen dan rekan-rekannya yang menghubungkan sikap dengan tingkah laku yang sebenarnya. Akan tetapi model tersebut hanya dapat memprediksi tingkah laku yang dilakukan oleh pribadi (di bawah komtrol individu), bukan tingkah laku yang berada di bawah kendali seseorang. Hal-hal yang menentukan tujuan menurut Icek Ajzen dijabarkan dalam tiga hal, yaitu :

Ø sikap terhadap tingkah laku yaitu tingkatan di mana seseorang memiliki suatu evaluasi yang baik atau tidak baik dari tingkah laku,

Ø norma subjektif yaitu merasakan tekanan sosial untuk melakukan atau tidak suatu tingkah laku, dan

Ø adalah tingkatan pengendalian tingkah laku yaitu merasakan kemudahan dan kesulitan dalam bertingkah laku.

E. KARAKTERISTIK SIKAP

1. Sikap ekstrem (extremeness)

Ø Sikap yang ekstrem sulit berubah, baik dalam perubahan kongruen maupun inkonruen.

2. Multifleksitas (multiplexity)

Ø Sikap ini mudah berubah secara kongruen, namun sulit berubah secara inkongruen.

Ø Lawannya adalah sikap simpel.

  1. Konsistensi (consistency)

Ø Cenderung menunjukkan sikap yang stabil, karena komponennya saling mendukung satu sama lain.

Ø Mudah diubah kearah inkongruen.

  1. Interconnectedness

Ø Ketertarikan suatu sikap dengan sikap lain dalam satu kluster.

Ø Sikap yang mempunyai kadar keterikatan tinggi, sulit diubah kearah inkognruen.

  1. Konsonan (consonance)

Ø Sikap yang saling berderajat selaras akan lebih cenderung membentuk suatu kluster.

Ø Mudah diubah kearah kongruen.

  1. Kekuatan dan jumlah keinginan yang menyebabkan munculnya suatu sikap tertentu.

Ø Perubahan sikap seseorang ditentukan oleh kekuatan dan ragam-ragamnya.

  1. Pemusatan nilai-nilai yang berhubungan dengan sikap yang dimiliki

Ø Sikap seseorang yang berakar pada nilai yang dianutnya, tetap sulit untuk diubah, kecuali dengan cara mengubah nilai yang telah ada.

F. FUNGSI DAN SUMBER SIKAP

F Menurut Katz (1960 dalam Worchel , dkk ,2000)ada empat fungsi Sikap:

1) Utilitarian function; Sikap memungkinkan seseorng untuk memperoleh atau memaksimalkan ganjaran (reward) atau persetujuan dan meminimalkan hukuman. Dengan kata lain sikap berfungsi sebagai penyesuaian social,misalnya seseorang dapat memperbaiki ekspresi dari sikapnya dari sesuatu objek untuk mendapatkan persetujuan atau dukungan.

2) Knowledge function;sikap membantu dalam memahami lingkungan (sebagai skema) dengan melengkapi ringkasan evaluasi objek dan kelompok atau segala sesuatu yang dijumpai di dunia ini.

3) Value expresif function; sikap kadang-kadang mengkomonikasikan nilai dan identitas yang dimiliki seseorang terhadap orang lain.

4) Ego defensive function; sikap melindungi diri, menutupi kesalahan, agresi, dan sebagainya dalam rangka mempertahankan dari. Sikap ini mencerminkan kepribadian individu yang bersangkutan dan masalah-masalah yang belum mendapatkan penyelesaian secara tuntas, sehingga individu berusaha mempertahankan dirinya secara wajar karena dia takut kehilangan statusnya (Brigham, 1991)

F Menurut Katz, 1960, dalam Calhoun&Acocella, 1990, fungsi sikap ada 3, yaitu :

1. Fungsi organisasi.

2. Fungsi kegunaan.

3. Fungsi perlindungan.

F Menurut Rita L. Atkinson dan kawan-kawan, menyebut ada 5 fungsi sikap, yaitu

a. Fungsi Instrumental

Dikatakan memiliki fungsi instrumental apabila sikap yang kita pegang karena alasan praktis atau manfaat. Sikap ini semata-mata mengekspresikan keadaan spesifik keinginan umum kita untuk mendapatkan manfaat atau hadiah dan menghindari hukuman.

b. Fungsi Pengetahuan

Merupakan fungsi sikap yang membantu kita memahami dunia, yang membawa keteraturan bagi berbagai informasi yang harus kita asimiliasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sikap tersebut adalah skema penting yang memungkinkan kita mengorganisasikan dan mengolah berbagai informasi secara efisien tanpa harus memperhatikan detailnya.

c. Fungsi Nilai-Ekspresif

Yaitu fungsi sikap yang mengekspresikan nilai-nilai kita atau yang mencerminkan konsep diri kita. Karena sikap nilai-ekspresif berasal dari nilai atau konsep dasar seseorang, mereka cenderung konsisten satu sama lain.

d. Fungsi Pertahanan Ego

Sikap yang melindungi kita dari kecemasan atau ancaman bagi harga diri kita. Salah satu pertahanan ego yang dijelaskan oleh Freud adalah proyeksi: individu merepresi impuls yang tidak dapat diterima kemudian mengekspresikan sikap bermusuhan kepada orang lain yang dirasakan memiliki impuls yang sama.

e. Fungsi Penyesuaian Sosial

Sikap yang membantu kita merasa menjadi bagian dari komunitas. Sampai tingkat memiliki fungsi penyesuaian sosial, sikap dapat berubah jika norma sosial berubah.

v Tiga sumber sikap(Calhoun & Acocella, 1990: 289-290):

1. Pengalaman pribadi. Sikap dapat merupakan hasil yang menyenangkan atau yang menyakitkan dengan objek sikap.

2. Sumber sikap dalam hal ini, sikap negatif-adalah pemindahan perasaan yang menyakitkan (terutama permusuhan) jauh dari objek yang sebenarnya pada objek lain yang “lebih aman”.

3. Pengaruh sosial. Banyak dari sikap kita menjadi terlalu lunak kalau didasari permusuhan yang tidak disadari, dan banyak lagi sikap itu tidak berkaitan sama sekali dengan objek sikap itu.

DAFTAR PUSTAKA

Baron,Robert A & Byne, Donn.2004. Psikologi Sosial. Erlangga: Jakarta

Dayakis, Tri, M.Si & Hudaniah, S.Psi.2003. Psikologi Sosial. UMM: Malang

Sobur, Alek. 2000. Psikologi Umum. Erlangga: Jakarta

Leave a comment